RESUME
AKHLAK TASAWUF
EPISTEMOLOGI TASAWUF
Disusun
oleh:
NURAINUN
BR PASARIBU
Nim:
0705163019
FISIKA-1
FAKULTAS
SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
T.A
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat dan hidayah Allah SWT
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya.
Makalah ini berisikan tentang Epistemolgi Tasawuf yang didalamnya ada Peran
Hati dalam Tasawuf dan Metode Tazkiyah al-Nafs.
Salawat
beriring salam semoga senantiasa tercurah untuk junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman, dengan
diiringi upaya meneladani akhlaknya yang mulia.
Semoga
makalah ini dapat dipergunakan sebagi salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman
dan juga berguna untuk menambah pengetahuan bagi para pembaca.
Makalah
ini kami akui maasih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami harapkan kepada
para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
Medan,
30 Maret 2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hati
adalah sebuah entitas nurani yang menakjubkan dan memiliki dua sisi berbeda,
yang pertama selalu memandang ke arah Alam Arwah (‘Alam al-Arwah) sementara
yang kedua selalu memandang Alam Fisik (‘Alam al-Ajsam). Jika tubuh tunduk pada
perintah ruh yang tercakup dalam perintah-perintah syariat tauhid, maka hati
mengalirkan limpahan anugerah yang ia dapat dari Alam Arwah kepada tubuh dan
jasad, sehingga memberi embusan angin ketenangan dan ketenteraman.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
itu Peran Hati dalam Tasawuf ?
2. Apa
yang dimaksud dengan Metode Tazkiyah al-Nafs ?
C.
Tujuan
Makalah
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Peran
Hati dalam Tasawuf dan Metode Tazkiyah al-Nafs.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peran
Hati dalam Tasawuf
Dalam
tradisi intelektual Islam, hati ditempatkan sebagai salah satu sarana meraih
ilmu. Istilah hati disebut berulang kali dalam al-Qur’an dan hadis, yang
biasanya disebut dengan kata qalb, al-fu’ad, atau af’idah. Term hati disebut
dalam al-Qur’an dengan berbagai bentuk, antara lain, kata qalbun disebut
sebanyak 6 kali, dan kata qulub disebut sebanyak 21 kali. Kata al-fu’ad disebut
sebanyak 3 kali, kata fu’aduka disebut sebanyak 2 kali, kata af’idah disebut
sebanyak 8 kali, dan kata af’idatuhum disebut sebanyak 3 kali. Selain itu,
disebut dalam al-Qur’an sebanyak 2 kali.
Dalam
tradisi Islam, hati (qalb) merupakan subsistem jiwa manusia. Ahmad Mubarok
telah menemukan konsep al-Qur’an tentang fungsi, potensi, kandungan dan
kualitas hati manusia. Disebutkan bahwa dari segi fungsi, menurut Achmad
Mubarok, qalb berfungsi sebagai “alat untuk memahami realitas dan nilai-nilai
serta memutuskan suatu tindakan (Q.S. al-A’raf/7:179),” sehingga qalb menjadi
identik dengan akal. Disebutkan bahwa ada delapan potensi hati, yakni hati itu
bias berpaling; merasa kecewa dan kesal; secara sengaja memutuskan untuk
melakukan sesuatu; berprasangka; menolak sesuatu; mengingkari; dapat diuji;
dapat ditundukkan; dapat diperluas dan dipersempit; bahkan bias ditutup rapat.
Islam menghendaki manusia mampu mencapai kualitas hati yang positif, dan
menjauhi kualitas hati yang negatif.
Hati
sebagai sarana untuk menemukan ilmu lebih banyak dibahas oleh kaum sufi dalam
berbagai karya mereka. Al-Ghazali, telah membahas hakikat hati dalam Ihya’Ulum
al-Din. Al-Ghazali menjelaskan bahwa hati (qalb) bermakna ganda. Pertama, hati
adalah “daging yang diletakkan dalam dada sebelah kiri.
Dalam
daging tersebut terdapat lubang, dan dalam lubang tersebut terdapat darah
berwarna hitam yang menjadi sumber ruh. Hati semacam ini juga terdapat pada
jasad binatang.” Kedua, “sesuatu yang halus, bersifat ketuhanan (rabbaniyah),
ruhani (ruhaniyah), dan memiliki kaitan dengan ruh. Hati ini merupakan hakikat manusia.”
Al-Ghazali memaknai qalb seperti ‘aql, yakni “yang mengetahui ilmu yaitu hati
yang halus, dan ilmu tentang hakikat-hakikat perkara. Akal adalah sifat ilmu
dan terletak dihati;” dan qalb berkaitan dengan ruh, yakni “tubuh yang halus
dan sumbernya adalah lubang hati jasmani, lalu tersebar dengan perantara
urat-urat yang merusak ke bagian jasad lain,” dan “yang halus dari manusia
tempat mengerti dan mengetahui.” Jadi, qalb terdiri atas dua bentuk, yakni hati
yang bersifat jasmani dan hati yang bersifat ruhani.
Menurut
al-Ghazali, hati (qalb) mampu meraih ilmu tentang dan menyaksikan wujud-wujud
spiritual. Menurutnya, ketika manusia mengenai hatinya, maka ia mengenal
dirinya, sehingga niscaya ia mengenal Allah SWT. Hati mampu menyaksikan Allah
SWT, dan mengenal sifat-sifat-Nya, serta mampu menyingkap segala sesuatu. Hati
akan menyesal manakala menjadi kotor, dan akan bahagia manakala menjadi suci
dan dekat dengan-Nya. Hati menjadi seperti setan manakala menjadi kotor, dan
menjadi seperti malaikat manakala menjadi suci. Dengan demikian, hati memiliki
potensi untuk menyaksikan Allah SWT dan menyingkap segala sesuatu sepanjang
hati telah suci.
B.
Metode
Tazkiyah al-Nafs
Secara
harfiyah (etimologi) Tazkiyat al-Nafs terdiri atas dua kata, yaitu ‘tazkiyat’
dan an-nafs’. Kata ‘tazkiat’, berasal dari bahasa Arab yakni isim mashdar dari
kata ‘zakka’ yang berarti penyucian. Kata an-nafs berarti jiwa dalam arti
psikis. Dengan begitu dapat diketahui Tazkiyah an-Nafs bermakna penyucian jiwa.
Tazkiyat an-Nafs (membersihkan jiwa) merupakan salah satu tugas yang
diemban
Rasulullah SAW. Muhammad Ath-Thakhisi berpendapat, Tazkiyah al-Nafs adalah
mengeluarkan jiwa dari ikatan-ikatan hawa nafsu, riya, dan nifak, sehingga jiwa
menjadi bersih, penuh cahaya, dan petunjuk menuju keridhaan Allah (Ath-Thakhisi
dalam Solihin, 2003:131). “Dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya. Sesunggunya beruntunglah orang yag mensucikan jiwa
itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams:
7-10).
Al-Tazkiyah
dari kata Tazakka yang secara bahasa
diartikan dengan suci, pensucian, atau pembersihan. Sebagaimana firman Allah
dalam surat al-A’la 14-16.“Sesungguhnya
beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama
Allahnya, lalu dia sembahyang”.
Kaum
sufi meyakini bahwa akal manusia masih memiliki kelemahan, meskipun relatif
sukses memberikan gambaran rasional dunia spiritual. Sekadar contoh, akal tidak
mampu menyaksikan realitas spiritual, atau merumuskan konsep ibadah yang
diinginkan Tuhan, akan tetapi akal mampu memberikan bukti rasional bagi
eksistensi Tuhan dan alam malaikat, atau merumuskan daya-daya psikologis
manusia, dan membuktikan kepastian hari kiamat akan terjadi. Karena metode
burhani tidak mampu membuat manusia untuk dapat menyaksikan (musyahadah)
realitas spiritual, maka dalam epistemology Islam dikenal dengan metode
tazkiyah al-nafs atau ‘irfani yang dinilai sangat ampuh menutupi kelemahan
metode burhani. Dalam epistemology burhani, masih ditemukan jarak antara objek
yang dipikirkan dengan subjek yang memikirkan, sedangkan dalam epistemology
‘irfani, tidak ditemukan jarak tersebut, karena telah terjadi persatuan antara
objek yang dipikirkan dengan subjek yang memikirkan (ittihad al-‘aqil wa
al-ma’qul).
Kisah petualangan al-Ghazali yang meninggalkan mazhab kaum teolog (al-mutakallimun),
mazhab Batiniah (al-batiniyyah), dan mazhab filsafat rasional (al-falasifah)
untuk beralih ke mazhab tasawuf (al-shuffiyah) menjadi gambaran penting dari
keutamaan hati dari akal.
Metode
irfani merupakan metode kaum sufi dalam Islam yang mengandalkan aktivitas
penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan
menilai bahwa ilmu hakiki hanya diraih dengan cara mendekatkan diri kepada
sosok yang Maha Mengetahui (al-‘Alim), bukan dengan metode observasi dan
eksperimen atau juga metode rasional.
Sebagaimana
ditegaskan bahwa tasawuf tidak hanya sekedar ilmu, melainkan amal, sehingga
dasar pijakan kaum sufi adalah mengamalkan ajaran kaum sufi dengan ‘uzlah,
khalwah, riyadhah, mujahadah, ibadah, dan zikr sebagai sarana paling tepat untuk menyucikan jiwa.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jiwa
dan hati manusia menjadi rusak dan hancur jika manusia bersikap ateis (menolak
dan tidak mengenal Allah SWT) dan mengikuti hawa nafsu, sedangkan hati menjadi
sehat manakala mengenal Allah (makrifat), mengikuti ajaran para Nabi sebagai
pembawa ajaran agama, dan senantiasa melaksanakan ibadah secara mantap,
sehingga mencapai derajat qalbun salim.
B.
Saran
Penulis
berharap para pembaca bisa memberikan kritik dan saran yang membangun kepada
penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah dikesempatan
berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para
pembaca pada umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Bangun, Ahmad Nasution dan Rayani Hanum
Siregar, 2015. Akhlak Tasawuf:
Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiaanya. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Ja’far.
2016. Gerbang Tasawuf. Medan: Perdana
Publishing.
Tamrin, Dahlan. 2010.
Tasawuf Irfani. UIN Maliki
[1]
Dr. Ja’far, MA, Gerbang Tasawuf,
(Medan: Perdana Publishing,2016), hlm.34-36.
[2] Drs.
H. Ahmad Bangun Nasution, MA dan Dra. Hj. Rayani Hanum Siregar, M.H., Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan
Pengaplikasiaanya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2015), hlm.29.
Dr. Ja’far, MA, Gerbang
Tasawuf, (Medan: Perdana Publishing,2016), hlm.36-37.
[3]
Dr. H. Dahlan Tamrin M.Ag, Tasawuf Irfani,
UIN Maliki Press,2010, hlm.85.
Drs. H. Ahmad Bangun Nasution, MA dan Dra. Hj. Rayani
Hanum Siregar, M.H., Akhlak Tasawuf:
Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiaanya, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2015), hlm.29.
Dr. Ja’far, MA, Gerbang
Tasawuf, (Medan: Perdana Publishing,2016), hlm.39.
[4]
Dr. Ja’far, MA, Gerbang Tasawuf, (Medan:
Perdana Publishing,2016), hlm.40.
Komentar
Posting Komentar